KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA
KEPUTUSAN
PEMBERIAN GRASI PADA “RATU MARIYUANA”
SCHAPELLE LEIGH CORBY DARI AUSTRALIA
Kebijakan luar negeri suatu
negara merupakan refleksi kondisi domestik negara tersebut. Dalam menentukan
sebuah kebijakan luar negeri terdapat banyak pertimbangan dan komitmen yang
harus dibawa di dalamnya, termasuk yang paling utama adalah national interest negara tersebut. Hal
itu disebabkan karena tujuan utama sebuah negara membuat kebijakan luar negeri
adalah terpenuhinya kepentingan dalam negeri. Hal-hal yang mempengaruhi
pembuatan kebijakan luar negeri yakni peran leader,
media massa, kondisi domestik, interest
group, dan epistemik. Kebijakan luar negeri tidak selalu membawa impact yang positif bagi kepentingan
domestik, tetapi ada juga yang bersifat negatif sehingga timbul sikap pro
kontra atas suatu kebijakan.
Tujuh tahun lalu, tepatnya
29 Juni 2005, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, menegaskan sikapnya
tentang grasi bagi pelaku kejahatan narkotika. Saat itu, pada Peringatan Hari
Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba di Istana Negara,
Presiden mengatakan grasi untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran
gelap narkotika tidak akan pernah dikabulkan, sejak saat Indonesia berdiri
sampai saat ini dan saat-saat mendatang (LP3Y.com,edisi
42/Juni/2012). Pernyataan
Presiden tersebut seakan menunjukkan betapa besar komitmennya untuk benar-benar
memberantas peredaran narkoba yang sangat berdampak buruk pada generasi bangsa.
Namun yang terjadi tujuh tahun kemudian sangat bertolak
belakang. Orang yang sama, pejabat yang sama, yaitu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, 15 Mei 2012, menandatangani keputusan presiden tentang
pemberian grasi berupa pengurangan masa hukuman sebanyak lima tahun terhadap
Corby.
Dalam konteks kebijakan
yang diambil tersebut, yang menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan
adalah leader dimana Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono memiliki hak prerogatif yang merupakan pengampunan yang
diberikan atas dasar belas kasihan oleh seorang Kepala Negara. Namun yang
menjadi pertanyaan mengapa semudah itu Presiden memberikan grasi terhadap
kejahatan narkoba, sebagaimana kita tahu bahwa peredaran narkoba merupakan
kejahatan internasional. Hal ini tentu akan membawa dampak buruk bagi citra
Indonesia di mata internasional yang dianggap bisa menjadi lading yang aman
bagi peredaran narkoba. Ketika banyak negara berkomitmen untuk bersama
memberantas narkoba tapi Indonesia mengeluarkan kebijakan yang bertolak
belakang dengan komitmen yang dulu dibawa. Sejak 1997 Indonesia telah
meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic
Drugs And Psychotropic Substances, dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997
Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (nasional.kompas.com, 28/5/12). Jelas
tertera kalau Indonesia memiliki komitmen yang besar dalam pemberantasan
peredaran narkoba. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beranggapan bahwa jika dia
memberikan keringanan hukuman Corby, dia berharap bahwa WNI yang ditahan di
Australia juga mendapat perlakuan yang sama sehingga bisa mendapat keringanan.
Namun apakah presiden tidak memikirkan dunia internasional yang tentu akan
menyoroti Indonesia dan Indonesia juga bisa di cap sebagai negara yang
membiarkan atau membuka peluang bagi peredaran narkoba di negaranya.
Selain peran pemimpin, dalam kasus ini media massa juga
memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Ketika Presiden dan Mahkamah
Agung yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasan mengenai alasan
mengapa grasi tersebut diberikan tidak dapat memberikan pertaggungjawaban yang
dapat dibenarkan, media membuat argumen-argumen yang mengkritisi kebijakan
tersebut, sehingga timbul sebuah sikap sentimen masyarakat terhadap pemerintah.
Dari pengaruh yang diberikan media tersebut terbentuk sebuah opini publik yang
mengkonstruksi pemikiran masyarakat bahwa Presiden sebagai pemimpin telah
melakukan tindakan yang bersifat inkonsisten. Inkonsistensi sikap dan
tindakan Presiden Yudhoyono menjadi kontradiktif, bertentangan,
kontraproduktif, bahkan sebuah ironi yang ironis, dengan upaya penegakan hukum
dalam memberantas kejahatan narkoba. Ketika media mem-blow up kebijakan tersebut ke masyarakat, tentu yang banyak terjadi
adalah penolakan terhadap kebijakan yang “aneh” tersebut. Jika dipikirkan
secara rasional, keuntungan yang didapat dari pemberian grasi tersebut bagi
Indonesia tidaklah besar mengingat juga tidak ada kepastian dari pemeintah
Australia untuk berterima kasih dan memberikan hal yang sama pada tahanan WNI
disana. Ketika keuntungan yang didapat pun tidak terlalu besar, bahkan
diragukan, bagaimana bisa seorang pemimpin bersikap inkonsisten terhadap
tindakan kriminal dengan skala internasional yang jelas-jelas bisa mencoreng
nama Indonesia.
Jadi, dari kasus tersebut yang berperan besar adalah leader sebagai aktor pengambil keputusan
dengan otoritas yang dimilikinya. Namun dalam negara demokratis tentu
seharusnya kebijakan luar negeri yang akan dikeluarkan harus benar-benar
memikirkan dinamika domestic juga. Kemudian yang memiliki peran selanjutnya
adalah media yang gencar mengkritisi kebijakan Prsiden Susilo Bambang Yudhoyono
tersebut, sehingga opini masyarakat terkonstruksi dan menganggap bahwa
kebijakan yang diambil tersebut benar-benar merugikan Indonesia. Tidak hanya
itu, media yang menyoroti tentang pribadi seorang presiden dalam mengambil
keputusan pun juga mempengaruhi pemikiran masyarakat tentang sosok presiden
mereka yang bertindak inkonsisten dan melanggar sumpahnya sendiri.
Sumber : nasional.kompas.com diakses tanggal 17/10/12 jam
19.42
voaindonesia.com diakses tanggal 17/10/12 jam
19.44
investor.co.id diakses tanggal 17/10/12 jam
20.05
jawaban.com diakses tanggal 17/10/12 jam
20.15
suaramerdeka.com diakses tanggal 17/10/12 jam
20.19
LP3Y.com diakses tanggal 17/10/12 jam
20.45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar