Minggu, 21 Oktober 2012

GRASI "RATU MARIJUANA" CORBY



KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA
KEPUTUSAN PEMBERIAN GRASI PADA  “RATU MARIYUANA” SCHAPELLE LEIGH CORBY DARI AUSTRALIA
Kebijakan luar negeri suatu negara merupakan refleksi kondisi domestik negara tersebut. Dalam menentukan sebuah kebijakan luar negeri terdapat banyak pertimbangan dan komitmen yang harus dibawa di dalamnya, termasuk yang paling utama adalah national interest negara tersebut. Hal itu disebabkan karena tujuan utama sebuah negara membuat kebijakan luar negeri adalah terpenuhinya kepentingan dalam negeri. Hal-hal yang mempengaruhi pembuatan kebijakan luar negeri yakni peran leader, media massa, kondisi domestik, interest group, dan epistemik. Kebijakan luar negeri tidak selalu membawa impact yang positif bagi kepentingan domestik, tetapi ada juga yang bersifat negatif sehingga timbul sikap pro kontra atas suatu kebijakan.
Tujuh tahun lalu, tepatnya 29 Juni 2005, Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Indonesia, menegaskan sikapnya tentang grasi bagi pelaku kejahatan narkotika. Saat itu, pada Peringatan Hari Internasional Melawan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkoba di Istana Negara, Presiden mengatakan grasi untuk jenis kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak akan pernah dikabulkan, sejak saat Indonesia berdiri sampai saat ini dan saat-saat mendatang (LP3Y.com,edisi 42/Juni/2012). Pernyataan Presiden tersebut seakan menunjukkan betapa besar komitmennya untuk benar-benar memberantas peredaran narkoba yang sangat berdampak buruk pada generasi bangsa. Namun yang terjadi tujuh tahun kemudian sangat bertolak belakang. Orang yang sama, pejabat yang sama, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 15 Mei 2012, menandatangani keputusan presiden tentang pemberian grasi berupa pengurangan masa hukuman sebanyak lima tahun terhadap Corby.
Dalam konteks kebijakan yang diambil tersebut, yang menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan adalah leader dimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki hak prerogatif yang merupakan pengampunan yang diberikan atas dasar belas kasihan oleh seorang Kepala Negara. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa semudah itu Presiden memberikan grasi terhadap kejahatan narkoba, sebagaimana kita tahu bahwa peredaran narkoba merupakan kejahatan internasional. Hal ini tentu akan membawa dampak buruk bagi citra Indonesia di mata internasional yang dianggap bisa menjadi lading yang aman bagi peredaran narkoba. Ketika banyak negara berkomitmen untuk bersama memberantas narkoba tapi Indonesia mengeluarkan kebijakan yang bertolak belakang dengan komitmen yang dulu dibawa. Sejak 1997 Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (nasional.kompas.com, 28/5/12). Jelas tertera kalau Indonesia memiliki komitmen yang besar dalam pemberantasan peredaran narkoba. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beranggapan bahwa jika dia memberikan keringanan hukuman Corby, dia berharap bahwa WNI yang ditahan di Australia juga mendapat perlakuan yang sama sehingga bisa mendapat keringanan. Namun apakah presiden tidak memikirkan dunia internasional yang tentu akan menyoroti Indonesia dan Indonesia juga bisa di cap sebagai negara yang membiarkan atau membuka peluang bagi peredaran narkoba di negaranya. 
Selain peran pemimpin, dalam kasus ini media massa juga memiliki peran besar dalam membentuk opini publik. Ketika Presiden dan Mahkamah Agung yang memiliki tanggung jawab untuk memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa grasi tersebut diberikan tidak dapat memberikan pertaggungjawaban yang dapat dibenarkan, media membuat argumen-argumen yang mengkritisi kebijakan tersebut, sehingga timbul sebuah sikap sentimen masyarakat terhadap pemerintah. Dari pengaruh yang diberikan media tersebut terbentuk sebuah opini publik yang mengkonstruksi pemikiran masyarakat bahwa Presiden sebagai pemimpin telah melakukan tindakan yang bersifat inkonsisten. Inkonsistensi sikap dan tindakan Presiden Yudhoyono menjadi kontradiktif, bertentangan, kontraproduktif, bahkan sebuah ironi yang ironis, dengan upaya penegakan hukum dalam memberantas kejahatan narkoba. Ketika media mem-blow up kebijakan tersebut ke masyarakat, tentu yang banyak terjadi adalah penolakan terhadap kebijakan yang “aneh” tersebut. Jika dipikirkan secara rasional, keuntungan yang didapat dari pemberian grasi tersebut bagi Indonesia tidaklah besar mengingat juga tidak ada kepastian dari pemeintah Australia untuk berterima kasih dan memberikan hal yang sama pada tahanan WNI disana. Ketika keuntungan yang didapat pun tidak terlalu besar, bahkan diragukan, bagaimana bisa seorang pemimpin bersikap inkonsisten terhadap tindakan kriminal dengan skala internasional yang jelas-jelas bisa mencoreng nama Indonesia.
Jadi, dari kasus tersebut yang berperan besar adalah leader sebagai aktor pengambil keputusan dengan otoritas yang dimilikinya. Namun dalam negara demokratis tentu seharusnya kebijakan luar negeri yang akan dikeluarkan harus benar-benar memikirkan dinamika domestic juga. Kemudian yang memiliki peran selanjutnya adalah media yang gencar mengkritisi kebijakan Prsiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut, sehingga opini masyarakat terkonstruksi dan menganggap bahwa kebijakan yang diambil tersebut benar-benar merugikan Indonesia. Tidak hanya itu, media yang menyoroti tentang pribadi seorang presiden dalam mengambil keputusan pun juga mempengaruhi pemikiran masyarakat tentang sosok presiden mereka yang bertindak inkonsisten dan melanggar sumpahnya sendiri.
Sumber : nasional.kompas.com diakses tanggal 17/10/12 jam 19.42
              voaindonesia.com diakses tanggal 17/10/12 jam 19.44
              investor.co.id diakses tanggal 17/10/12 jam 20.05
  jawaban.com diakses tanggal 17/10/12 jam 20.15
  suaramerdeka.com diakses tanggal 17/10/12 jam 20.19
  LP3Y.com diakses tanggal 17/10/12 jam 20.45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar